::serba-serbi ibu::
Thursday, May 19, 2005
 
Dokter kandungan
diambil dari www.syariahonline.com

Aurat wanita yang disepakati ulama adalah seluruh tubuh kecuali muka dan tapak tangan. Sehingga laki-laki asing (ajnabi) yang bukan mahram diharamkan untuk melihatnya. Keharaman ini tetap terus berlaku dalam semua kondisi kecuali bila sudah mencapai titik dharurat yang pasti.

Titik dharurat yang pasti itu sebenarnya sangat sempit ruang lingkupnya. Misal, bila sebuah nyawa terancam melayang dan tidak ada alternatif lainnya kecuali harus melihat aurat wanita yang bukan mahram, maka dharurat itu barulah terjadi dan dibolehkan melihat aurat. Tapi begitu resiko nyawa melayang tadi sudah mulai berkurang, maka nilai dharuratnya pun otomatis menjadi hilang.

Kita mengenal kaidah fiqhiyah,”Ad-dharuratu tuqaddar biqadriha”. Kedaruratan itu harus diukur sesuai dengan kadarnya. Bila nilai kedaruratan itu tinggi, maka legalitas atas sesuatu yang asalnya haram menjadi berlaku. Dan begitu nilai kedaruratannya berkurang, maka hukumnya kembali menjadi haram.

Kita juga mengenal kaidah lainya yang senafas,”Izaa Dhaaqal Amru ittasa`a wa izaa ittasa`a dhaaqa”. Bila suatu masalah menjadi sempit, maka hukumnya menjadi luas dan bila suatu masalah menjadi luas maka hukumnya menjadi sempit.

Selama masih ada bidang dan para medis yang wanita, maka haram hukumnya dokter kandungan memeriksa dan melihat aurat wanita. Meski posisi bidan atau dokter wanita itu jauh atau biaya dokter spesialis kandungan wanita itu lebih mahal. Namun jarak yang jauh dan biaya yang mahal belum membuatnya menjadi darurat.

Darurat baru bisa diakui bila terjadi kelainan dalam persalinan yang beresiko pada kematian atau cacat atau membahayakan, sedangkan bidan atau perawat yang wanita sudah angkat tangan, maka saat itu kehadiran dokter ahli kandungan laki-laki menjadi boleh bahkan harus, karena untuk menyelamatkan nyawa. Begitu persalinan usai dan tingkat bahayanya sudah tidak tinggi lagi, otomatis sang dokter diharamkan melihat auratnya.

Karena itu dalam Islam, diharamkan untuk mengambil spesialisasi kandungan yang bagi para dokter laki-laki, karena konsekuensi pada profesinya nanti memang harus melihat aurat wanita, bahkan sampai pada kemaluannya yang merupakan aurat besar. Kesempatan untuk mengambil spesialisasi dokter kandungan harus 100 % diberikan kepada dokter wanita saja. Sehingga tidak akan ada lagi seorang dokter spesialis kandungan tapi berjenis kelamin laki-laki. Hanya di negeri yang tidak kenal syariat saja hal itu bisa terjadi.

Hal yang sama juga berlaku bagi semua jenis pendidikan yang bentuk profesinya adalah melihat aurat wanita. Semua pendidikan itu harus diisi wanita muslimah saja.

Wallahu a`lam bis-shawab.

Comments: Post a Comment

<< Home

Powered by Blogger